English
Danau Weekuri (kadang disebut juga Waikuri), adalah sebuah danau air asin yang sangat luar biasa di dekat Mandorak, Sumba Barat Daya.
Air mengalir keluar masuk danau secara konstan dari laut, lewat celah bebatuan yang memisahkan danau itu dengan laut.
Bagian terdangkal danau ini berpasir, sementara di bagian terdalamnya (2-3 m), kaya dengan kehidupan laut seperti koral, udang-udangan dan berbagai jenis ikan. Ekosistem di danau ini cukup rapuh. Para pengunjung selalu diminta untuk berhati-hati untuk tidak membuang sampah atau menginjak koral.
Properti yang dijual terletak persis di danau bagian utara, dan memanjang ke arah danau air tawar di dekatnya, 250 meter ke utara, di mana masih berkeliaran monyet-monyet di pepohonan.
Bagian lain tanah ini rata, dengan beberapa bebatuan, rumput dan kaktus.
Bagian yang berbatasan dengan laut merupakan tempat yang tepat untuk menikmati sunset yang dapat dinikmati dari tebing setinggi 10-15 meter yang terdapat di situ.
Di pagi hari, kita bisa menikmati pemandangan lumba-lumba yang berlompatan di laut. Sementara di pantai Mandorak, yang terletak tak jauh dari situ, penyu-penyu datang untuk bertelur.
Terdapat akses jalan protokol langsung ke properti ini. Airport hanya kurang dari 45 menit jauhnya dan bisa lebih cepat lagi segera setelah program pembangunan jalan baru diselesaikan (menurut Bupati, akhir 2015).
Sumba on wikipedia:
Sumba adalah sebuah pulau di timur Indonesia, dan merupakan salah satu dari Kepulauan Sunda kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sumba memiliki luas 11.153 km2, dan populasinya 656.259 pada Sensus 2010. Ke arah barat laut dari Sumba adalah Sumbawa, ke timur laut, melintasi Selat Sumba (Selat Sumba), adalah Flores, ke timur, menyeberangi Laut Sawu, Timor, dan ke selatan, di bagian Samudera Hindia, adalah Australia .
Secara historis, pulau ini adalah pengekspor cendana dan dikenal sebagai Sandalwood (cendana) Island.
Sebelum kolonisasi oleh orang Eropa Barat di tahun 1500-an, Sumba dihuni oleh orang-orang Australia dan Polinesia. Pada tahun 1522 kapal pertama dari Eropa tiba, dan pada 1866 Sumba berada di bawah Hindia Belanda, meskipun pulau itu tidak berada di bawah nyata pemerintahan Belanda sampai abad kedua puluh. Jesuit membuka misi di Laura, Sumba Barat pada tahun 1866.
Terlepas dari kontak dengan budaya barat, Sumba merupakan salah satu dari beberapa tempat di dunia di mana penguburan megalitik, digunakan sebagai ‘hidup tradisi’ untuk antar individu ketika mereka mati, sangat menonjol. Pemakaman megalitik adalah praktek yang digunakan di banyak bagian dunia selama zaman Neolitik dan Perunggu, tetapi masih bertahan sampai hari ini di Sumba, dan telah mengangkat keingintahuan yang signifikan dari para sarjana. Di Anakalang, misalnya, baru-baru ini ditemukan sebuah adzes segi empat. Tradisi lain yang masih bertahan adalah pasola, sebuah kegiatan berbahaya di mana tim yang terdiri dari beberapa ratus penunggang kuda saling bertarung dengan tombak.
Kota terbesar di pulau adalah pelabuhan utama Waingapu, dengan populasi sekitar 52.755. Permukaannya landai, dihiasi perbukitan kapur, alih-alih gunung berapi curam yang banyak terdapat di kepulauan Indonesia. Ada musim kemarau dari bulan Mei sampai November dan musim hujan dari Desember hingga April. Sisi barat pulau ini lebih subur dan lebih padat dibandingkan bagian timur.
Karena flora dan fauna khas Sumba telah dikategorikan oleh World Wildlife Fund sebagai hutan gugur ekoregion Sumba. Meskipun umumnya dianggap sebagai bagian dari belahan selatan dari superkontinen Gondwana, penelitian terbaru menunjukkan bahwa mungkin Sumba berada di luar batas Asia Tenggara. Sumba terletak dalam ecozone Wallacea, memiliki campuran tumbuhan dan hewan asal Asia dan Australasia. Sebagian besar pulau ini awalnya tertutup hutan musim gugur sedangkan lereng yang menghadap selatan, yang tetap lembab selama musim kemarau, adalah hutan hujan yang selalu menghijau.
